Seharusnya saya meneruskan part 2 dari postingan sebelumnya tapi berhubung sedang tidak mood membahasnya, jadi saya menulis ini.
*yaakali daah siapa juga yang nunggu-nunggu cerita lu yaan*
Kehidupan di
kampus saya yang terdiri dari puluhan ribu civitas academica tentu bersifat
heterogen karena berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kemampuan
finansial setiap mahasiswa yang berkuliah di dalamnya pun beragam. Mulai
golongan menengah ke bawah hingga golongan menengah ke atas. Tentu setiap
mahasiswanya memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Namun, bagi
sebagian teman-teman, biaya kuliah dirasa cukup berat bahkan mereka harus
bekerja keras demi keberlangsungan studinya. Maka dari itu pihak kampus
menyediakan beasiswa DIPA guna membantu meringankan beban ekonomi mahasiswanya.
Persyaratan
yang harus dipenuhi untuk memperoleh beasiswa DIPA antara lain; mahasiswa aktif
minimal semester 2 - 10, IPK minimal 2,70 (dalam skala 4,00), fotocopy KTM,
surat keterangan aktif kuliah, fotocopy buku rekening BRI Kantor Cabang
Ciputat, surat keterangan tidak mampu dari kelurahan dan transkrip nilai.
Di dalam
salah satu persyaratannya, terdapat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Dari
satu item itu, kita tentu mengerti bahwa beasiswa ini diperuntukkan bagi
mahasiswa yang tidak mampu. Tetapi pada kenyataannya, para pendaftar beasiswa
DIPA tidak seluruhnya mahasiswa yang benar-benar tidak mampu. Mereka yang
sebenarnya tergolong mampu rela berbondong-bondong “menidakmampukan diri”
dengan mengajukan pembuatan SKTM di daerah tempat tinggalnya demi kucuran dana
segar yang berasal dari dana APBN ini.
Hmm saya bukan
berasal dari keluarga menengah ke atas, tapi rasanya kurang layak juga disebut
tidak mampu. Alhamdulillah orang tua saya tidak kesulitan membayar SPP tiap
semester dan masih bisa memenuhi segala keperluan kuliah lainnya. Namun melihat
teman teman yang (nampaknya) mampu turut serta mendaftar beasiswa ini, saya pun
tertarik dan mulai menyiapkan berkas yang dibutuhkan sambil memikirkan ingin membeli
apa saja dengan uang itu nantinya. Saya menceritakan rencana ini kepada ibu
saya tentang beasiswa ini beserta persyaratannya dan beliau menembuskannya
kepada ayah saya. Tapi ketika ayah saya mendengar ada syarat yang mengharuskan
melayangkan SKTM, beliau menolak dan secara tegas tidak menyetujui saya
mengajukan beasiswa ini. Pasalnya, beliau menilai bahwa dengan membuat SKTM
artinya kita mendaftarkan diri sebagai orang miskin. Padahal pada kenyataannya
toh kita “tidak sesusah itu”.
Mungkin ini
terkesan naïf dan gengsi. Menurut beliau gengsi terkadang memang perlu,
terutama pada hal-hal seperti ini, kita harusnya malu menjadi orang miskin, dan
yang ingin ditekankan beliau adalah “belajarlah jujur pada diri sendiri”. Uang
beasiswa yang berasal dari APBN itu sejatinya diberikan oleh kampus untuk
membantu menunjang perkuliahan mahasiswa yang tidak mampu, tapi oleh mereka
yang mampu justru digunakan untuk membeli gadget terbaru, baju, jalan – jalan,
dan segala kegiatan konsumsi di luar keperluan kuliah. Itu sangat tidak bijak.
Saya terdiam…
Mencerna kata-kata beliau…
Perlahan saya pun setuju, benar juga
yang diungkapkannya…
“mendidik diri sendiri untuk jujur,
negeri ini sudah krisis kejujuran”
Miris.
Ketika tujuan yang baik ini dimanfaatkan untuk hal lain yang bukan semestinya.
Ketika pemerintah tengah berusaha mengurangi angka kemiskinan di negeri ini, sejumlah
oknum masyarakat yang sebenarnya mampu justru tanpa malu mencatatkan dirinya
miskin pada pemerintah.
Mohon maaf apabila
ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan tulisan ini.