Sidang
skripsi (bagi strata satu) adalah momentum yang paling ditunggu sekaligus
paling mendebarkan bagi para mahasiswa tingkat akhir. Di situlah, lulus atau
tidaknya seorang mahasiswa diputuskan. Bila lulus, gelar akademis sesuai bidang
keilmuan yang ditempuh, berhak disematkan di belakang namanya. Perasaan lega,
gembira, bangga dan haru biru melebur menjadi satu ketika sang mahasiswa
dinyatakan lulus. Tapi percayalah, euforia itu hanya berlangsung sesaat. Reaksi
senyawa perasaan lega, gembira, bangga dan haru biru yang saya alami sewaktu dinyatakan
“LULUS” hanya berlangsung sangat singkat. Ya, singkat sekali. Tidak lebih dari
sepuluh menit. Durasi pada tiap orang memang bervariasi.
Begitu
keluar ruangan sidang, euforia itu padam dan terasa datar-datar saja. Namun,
saya berusaha menyunggingkan senyum kemenangan di hadapan teman-teman dan
menikmati hujan ucapan selamat dari mereka. Sesampainya di terminal saya
dijemput pacar, setibanya di rumah, keluarga menyambut saya dengan tangis haru.
Duuh Gusti….alih-alih berterimakasih dan larut dalam suasana itu, saya malah
merasa amat canggung. Di dalam hati, saya berharap mereka menyudahi drama ini dan
kembali bersikap biasa saja. Meski sikap saya demikian, bukan berarti saya
tidak bersyukur sih. Bersyukur sudah pasti tapi saya kira tak perlu
diekspresikan berlebihan begini ehehe…
Bicara
soal gelar akademis, bagi sebagian orang, hal itu merupakan sebuah kebanggan
tersendiri, sedangkan bagi sebagian yang lain, justru merupakan sebuah beban. Saya
termasuk ke dalam kelompok yang merasa terbebani dengan gelar akademis. Setelah
merampungkan pendidikan di program studi Agribisnis, maka gelar yang saya
peroleh adalah Sarjana Pertanian atau disingkat menjadi SP (berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia No.154 tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi, lulusan program studi
agribisnis semestinya kini bergelar S.Agr).
Mengemban gelar tersebut artinya harus siap dianggap sebagai orang yang ahli dalam
pertanian oleh masyarakat di luar sana.
Saya
jadi teringat, sewaktu mewawancarai seorang petani di salah satu desa di Bogor.
Saya bersama kawan-kawan memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Agribisnis. Sayangnya
nama ‘Agribisnis’ tidak terdengar familiar di telinga si bapak itu. Hal ini kerap
terjadi, untuk kesekian kalinya seseorang mengernyitkan dahi dan berpikir
sejenak setelah mendengar kata ‘Agribisnis’.
“Pertanian, pak. Tapi lebih ke sosial ekonominya +)#%$^$$$$@#$%)(*&%^# Kira-kita begitu”, jelas salah satu dari kami.
“oh, pertaniaan…”, kata si pak petani.
Ketika
itu, informasi yang sedang kami gali adalah berkenaan tentang jual-beli lahan
pertanian di desa itu. Wawancara berjalan santai seperti sedang ngobrol biasa,
bahkan sesekali keluar topik hingga kami harus menarik beliau kembali ke topik utama.
Pembicaraan yang keluar jalur ini selain membuang waktu, juga membuat kami garuk-garuk
kepala.
“Dek, bapak ada kebon pepaya di belakang. Udah beberapa bulan ini kena kutu putih (paracoccus marginatus) daunnya. Obatnya yang manjur apa ya? Udah pernah diobatin tapi ga mempan-mempan”, keluh si bapak petani.
Kami
sadar, kami telah gagal dalam menjelaskan tentang program studi kami, tentang fokus
studi kami. Yeaah walau kami ‘anak pertanian’ namun kami tidak terlalu fasih
soal nama-nama pestisida. Tapi yah memang begitulah, masyarakat tidak peduli
bahwa di agribisnis, kami bukan disiapkan menjadi dokter tanaman yang mahir
menciptakan varietas unggul, dan paham segala jenis penyakit tanaman serta
obatnya. Kami memang belajar menanam, merawat tanaman, mengenal serta mengendalikan
hama dan gulma, tetapi tidak semendalam mahasiswa Agroteknologi.
Inilah
sebabnya saya merasa malu menyematkan gelar akademis di belakang nama. Kegelisahan
menyandang gelar tersebut langsung menyergap sekeluarnya saya dari ruangan
sidang, sehingga memadamkan kobaran sukacita kelulusan.