Empati Untuk Mereka Yang Mendadak Menjerit dan Lompat

sama kecoa aja takut, kecoa sama elu juga gedean elu!”
 “lebay banget sih sama kucing aja takut hahaha jejelin nih” 

Umpatan di atas atau sejenisnya tentu sudah sangat familiar dalam keseharian kita di masyarakat. Sebagian dari kita mungkin kerap melontarkan kalimat-kalimat seperti itu kepada orang di sekitar saat ia dengan spontan melompat, kabur atau berteriak histeris seperti orang kerasukan dan berbagai tingkah aneh lainnya, ketika tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran objek-objek yang memicu rasa benci, jijik atau fobia. Bagi kita yang tidak memiliki kebencian, jijik dan fobia pada hal apapun seumur hidupnya mungkin akan dengan mudah melemparkan umpatan demikian. Memang, diperlukan empati untuk dapat memahami dan membuat kita berhenti menyepelekan atau bahkan berhenti memarahi orang-orang yang memiliki kebencian, jijik dan fobia dengan hal-hal tertentu.

Setiap orang pasti ingin hidup tanpa kebencian, jijik dan fobia pada hal apapun. Idealnya mungkin begitu, namun realita tak selalu selurus dan semulus yang diharapkan. Beragam permasalahan dari yang ringan sampai yang berat selalu datang menghampiri sehingga, kadang memaksa kita untuk mempunyai musuh. Musuh bagi setiap orang berbeda-beda. Sikap setiap orang dalam menghadapi masalah juga berbeda karena kondisi mentalnya yang juga berbeda-beda.

Saya yakin, sesungguhnya mereka yang mempunyai kebencian, jijik dan fobia, juga berharap suatu hari ketakutannya terhadap obyek-obyek tertentu itu dapat sirna dan bisa hidup dengan tenang. Hanya saja, saat ini mereka belum mampu berdamai dengan diri sendiri dan belajar berdamai dengan obyek-obyek itu. Mungkin reaksi mereka ketika sedang berhadapan dengan obyek yang ia takukan terlihat berlebihan dan terkadang menganggu. Perlu diketahui juga bahwa, mereka pun sama sekali tidak berniat menganggu, merusak suasana ataupun bersikap menyebalkan. Semua reaksi hebohnya itu sudah menjadi refleks yang sulit dikendalikan.

Jadi, mengucapkan “sama kecoa aja takut, kecoa sama elu juga gedean elu!” kepada teman kita yang mendadak kabur saat kecoa mendarat di hadapannya, agaknya kurang bijak dan tidak relevan. Jelas kurang bijak, karena kita tidak tahu apa yang telah terjadi dengan orang itu di masa lampaunya. Kita tidak tahu karakter, kondisi mental dan berbagai aspek kepribadian orang itu, tapi kita, dengan ringannya mengumpati penderitaannya. Kalimat umpatan itu juga tidak relevan, karena perkaranya bukanlah ukuran; bukan siapa yang lebih besar secara fisik. Tidak sesederhana itu.

Yaah, kalaupun tidak bisa membantu menyembuhkan rasa benci, jijik dan fobia mereka setidaknya cobalah kita belajar memahami. Diawali dengan menumbuhkan empati, sebab kita tak akan mampu memahami jika tidak ada empati.




Buang Sampah Sembarangan dan Menikah Muda

Ketika berada di jalanan dan kendaraan umum, saya termasuk orang yang lebih suka mengamati beberapa obyek di sekeliling ketimbang tertunduk khusyuk kepada smartphone. Saya pikir, terlalu fokus pada gadget akan mengurangi tingkat kewaspadaan dan kepekaan sosial kita. Saya akan sangat amat malas mengambil smartphone jika sudah tenggelam jauh di dasar tas, sebab untuk meraihnya saja sangat sulit dan diperlukan waktu bermenit-menit sehingga saya sering menyerah. Walau kadang hal seperti ini tidak baik, yang konsekuensinya kena ‘semprot’ orang-orang terdekat akibat kelambanan saya merespon panggilan ataupun pesan singkat mereka (oke ini terlalu curhat -_-).
Perjalanan saya dari rumah ke kampus memakan waktu selama dua jam, bahkan lebih. Melelahkan pasti, namun tidak selalu membosankan, karena jalanan menyajikan banyak kisah kehidupan yang menarik. Namun, Anda tidak akan mendapatinya, bila selama dalam perjalanan hanya melulu terpaku pada gadget di genggaman tangan dan tidak memperhatikan sekitar.
Selain bus dan commuterline, moda transportasi yang selalu saya gunakan adalah angkot. Seperti angkutan umum lainnya, di dalamnya kita akan berbagi bangku dengan beragam penumpang. Kebetulan di hari itu yang tepat duduk di hadapan saya adalah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri muda dan seorang balita laki-laki lucu yang sedang minum minuman teh kemasan gelas. Beberapa tahun belakangan ini sejauh pengamatan saya sepertinya pernikahan oleh pasangan muda sedang menjadi tren. Apakah fenomena tersebut merupakan implikasi dari dakwah para ustad yang gencar mengajak kaum muda muslim/muslimah untuk menyergerakan pernikahan dalam rangka menghindarkan diri dari zina? Entah…
Mereka terlihat bahagia, begitu manis dipandang dan membuat iri hingga sempat terbesit keinginan sesaat untuk menikah muda. Iya itu hanya sesaat kok, karena saya segera kembali sadar. Hal yang membuat saya sadar sekaligus memudarkan kekaguman saya terhadap keluarga kecil ini adalah, pada saat si anak sudah menghabiskan minuman teh kemasan gelas itu dan menyerahkan gelas kosong itu kepada ayahnya yang kemudian oleh ayahnya melempar gelas kosong itu keluar melalui jendela ketika angkot kami melaju.
Saya kecewa dengan pasangan muda ini. Tindakan sang ayah amat tidak patut dicontoh sebagai orang tua; membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sebarangan mungkin terkesan hal sepele bagi sebagian orang, tapi bagi saya ini persoalan serius. Bila tindakan  ini dimaklumi sekali dua kali, saya yakin ke depannya akan menjadi kebiasaan bahkan menjadi refleks setiap melakukannya. Rasanya, saya tidak perlu lagi menjelaskan dampak membuang sampah sembarangan, di bangku SD kita tentu sudah diajarkan.
Yaah, kita sudah diajarkan di bangku SD tapi kenapa pelajaran itu terlupakan dan nihil pada praktek sehari-hari? Pendidikan untuk tidak membuang sampah sembarang di bangku sekolah menjadi tidak efektif menggugah kesadaran seseorang, menurut saya karena seseorang itu tidak mendapatkan panutan yang baik dalam membuang sampah di keluarganya. Mengapa keluarga? Karena di dalam keluarga ada orang dewasa (orang tua) yang bertugas sebagai pendidik bagi anak. Orang tua adalah agen pertama dalam pendidikan dan penanaman nilai-nilai kehidupan bagi anaknya.
Jadi, bagi Anda pemuda-pemudi yang sedang dilanda hasrat ingin menikah yang menggebu-gebu, coba introspkesi diri, apakah Anda punya kebiasaan membuang sampah sebarangan? Jika ya, baiknya urungkan dulu niat mulia Anda. Slogan “segerakan menikah” yang didengungkan para ustad jangan ditelan bulat-bulat begitu saja, pernikahan bukan sekedar penghalalan syahwat, tidak sedangkal dan serendah itu. Mari pantaskan diri sebagai calon istri/suami dan orang tua, bekali diri dengan ilmu, iman, taqwa dan materi demi mewujudkan generasi gemilang harapan bangsa dan agama :D

Btw…

Terima kasih jalanan, sudah menyediakan obyek-obyek menarik sebagai bahan kontemplasi :’)

Surat untuk Saudara Perokok Yang Budiman

Kepada Yang Terhormat
Para Perokok Yang Budiman
dimanapun berada


Sudah taukah Anda tempat apa saja yang terlarang untuk merokok?Tak apa, jika Anda tidak hapal dimana saja tempat-tempat itu.Cukup perhatikan sekitar Anda apakah ada tanda larangan merokok atau tidak.
Saudara Perokok Yang Budiman…Saya sering melihat Anda suka merokok di dalam angkutan umum. Ketika ditegur, Anda berkilah mengatakan “saya kan duduknya dekat jendela/pintu” atau “ngga ada tulisan larangannya” atau dengan galak Anda membentak “mau nyaman ya naik mobil pribadi!” atau ketika kebetulan sedang turun hujan Anda beralasan, "dingin, biar anget".
Saudara Perokok Yang Budiman...Asal Anda tau saja, dimana pun Anda duduk. Dekat jendela ataupun dekat pintu selama sebagian besar badan Anda berada di dalam kendaraan umum itu yaa tetap saja asap rokok yang saudara perokok yang budiman produksi menyebar ke seluruh bagian dalam kendaraan yang sedang Anda tumpangi. Ya jelas saja para penumpang yang lain tetap mendapat jatah menghirup asap rokok Anda
Saudara Perokok Yang Budiman...Jangan beranggapan di kendaraan umum non-AC itu berarti sah-sah saja untuk merokok lho! Alasannya sudah saya jelaskan tadi toh?
Kecuali...Kecuali bila kendaraan umum itu menyediakan smoking area. Saya pernah menumpang sebuah bus AKAP yang di bagian belakangnya terdapat ruang khusus tertutup yang pada dinding kacanya tertulis “SMOKING AREA”.Betapa pengertiannya perusahaan bus itu kepada Anda, Saudara Perokok Yang Budiman :’)

Saudara Perokok Yang Budiman...
Soal ada atau tidaknya larangan merokok di dalam kendaraan atau tempat umum, hmm memang tidak semua kendaraan dan tempat umum dicantumi larangan merokok . Tapi ya mestinya Saudara Saudari Perokok Yang Budiman paham bahwa adanya asap rokok di dalam kendaraan umum itu sangat mengganggu hidung orang-orang sekitar yang tidak merokok. Walau mereka tidak protes bukan berarti mereka tidak merasa keberatan lho, itu karna mereka cinta damai, demi menghindari konflik. Diam-diam, dalam hati, mereka mungkin saja mengutuk Anda Saudara Perokok Yang Budiman! Ingat, doa orang teraniaya akan dikabulkan Tuhan dan Anda telah menganiaya mereka lewat asap rokok Anda. Waspadalah.....waspadalah ;)Ndak nakuti, saya cuma mengingatkan lho...

Saudara Perokok Yang Budiman…
Saya sering mendapati Anda dan kawan-kawan Anda sebangsa seperududan tempo hari merokok ketika di dalam kendaraan umum maupun tempat umum tanpa peduli sekitar.Bahkan dengan cueknya merokok di samping bayi tanpa merasa bersalah.
 
Saudara Perokok Yang Budiman…
Sekali waktu, sempatkanlah googling tentang kandungan asap rokok. Saya kasihan saja kepada bayi yang terpapar asap rokok Anda. Yaah semoga Tuhan senantiasa memberi nikmat sehat kepada anak-anak Anda di rumah.

Saudara Perokok Yang Budiman... 
Mungkin harapan saya sudah terlalu tinggi, menginginkan Anda serta saudara sebangsa dan seperududan Anda berempati kepada orang-orang di sekeliling, Anda. Empati itu dari hati yang paling dalam tanpa diminta baik secara lisan maupun tulisan.






Wong saat ada aturan "No Smoking" yang terpampang nyata saja Anda masih bisa tak sadar.Bagaimana jika hanya berharap saja dalam hati untuk mengemis empati Anda??
Entah memang tidak melihat tanda larangan atau pura-pura tidak melihat, hanya Tuhan yang tau.

Kami Adalah Babi Yang Kecewa




Bulan depan kita akan merayakan pesta demokrasi. Kami  menanggapi dingin, kami skeptis. Katanya, kita harus menggunakan hak pilih kita demi masa depan bangsa yang lebih baik. Iya iya dulu kami pikir juga begitu, kami percaya dan yakin para pemimpin yang kami pilih mampu membawa bangsa kita menjadi lebih baik, nyatanya? Jangankan membawa bangsa menjadi lebih baik, kepercayaan yang kami berikan saja gagal mereka jaga. Kami kecewa berat mendapati berita-berita tentang korupsi yang mereka lakukan! Memakmurkan kami saja belum mampu tapi malah mencuri uang kami, padahal kami sudah menggaji mereka. Yaa, walau kami hidup miskin, kami; rakyat, bersama-sama menggaji mereka, memberi segala tunjangan agar mereka hidup nyaman (walau hidup kami tidak senyaman mereka), agar mereka hidup berkecukupan dan tentunya agar mereka mampu menunaikan tugas mulia mereka dengan amanah.

Tidak ingatkah ketika mereka merayu, meyakinkan, dan meminta kami kala kampanye dulu?
Kami mati-matian bekerja menyambung nyawa setiap hari demi kelangsungan hidup, kemudian mereka datang menawarkan janji-janji manis dan mimpi-mimpi besar di masa depan.
Kini…..semua itu hanya omong kosong belaka…
Kini….kami telanjur kecewa, kepercayaan itu sudah mereka hancurkan…
Kini….kami pesimis, kami trauma, kami memilih untuk tidak memilih siapapun dalam Pemilu nanti, karna kami pikir akan sama saja…
Kami golongan putih…
Dari sudut lain, kami diteriaki “DZALIM” karena tidak berpartisipasi menentukan memimpin, tidak berpartisipasi menentukan nasib bangsa. Padahal kami telah terdzalimi lebih dulu.
Teriak “DZALIM”-lah kepada mereka yang korupsi!
Selain itu, kami juga diteriaki “HAROOOOOM” (masih) karena tidak berpartisipasi menentukan memimpin, tidak berpartisipasi menentukan nasib bangsa. Padahal kami telah terdzalimi lebih dulu.
Aahh kami ingin tertawa hahaha, seolah kami ini termasuk golongan bangsa babi.
Hahaha kami babi?
Lebih baik arahkan teriakan “HAROOOOOM” itu kepada mereka yang korupsi!

Duuh Gusti tolong kami, kami babi-babi sakit hati, maha bodoh dan dzalim…
Kami sungguh bingung, kami serba salah...
Beri kami petunjuk, kebesaran hati, dan kecerdasan…
Hidupkan kembali optimisme di benak kami yang telah lenyap bersama harta dan hak kami yang mereka rampas…
Aaamiin...
Kami bimbang...
Katanya kalau tidak memilih, kami tidak berhak memprotes apalagi mengontrol kinerja para pemimpin kami nanti, lha wong sekarang dan yang sudah-sudah saja protes kami hanya menguap di udara, apalagi mengontrol?
Pernyataan panitia penyelenggara pesta demokrasi yang gencar dikumandangkan belakangan ini terdengar klise bagi kami...
Gusti, tolong beri petunjuk siapa atau jalan apa yang harus kami pilih...
Kami sudah terlalu lama sengsara...
Jikalau tak ada yang pantas memimpin, bubarkan sajalah republik ini

Apa Tujuan Akhir Kita?

Aku ngga perlu uang ribuan
Yang aku mau uang merah cepean
Aku ngga butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan tuk makan
Asal ada babi untuk dipanggang
Asal banyak ubi untukku makan,
Aku cukup senang
Aku cukup senang
Dan akupun tenang

Aku ngga ngerti ada banyak tambang
Yang aku tahu banyak hutan yang hilang
Aku ngga peduli banyak nada sumbang
Kita orang ini dianggap terbelakang

Asal ada babi untuk dipanggang
Asal banyak ubi untukku makan,
Aku cukup senang
Aku cukup senang
Dan akupun tenang
………………

Sekilas, lirik lagu Lembah Baliem milik Slank ini terdengar sederhana, tapi maknanya? Aah lagu ini membuat saya merenung, berpikir tentang kehidupan. Mungkin Lembah Baliem masih terasa asing bagi sebagian orang, termasuk saya saat pertama kali melihat judul lagu ini. Setelah didengarkan pun kata “Lembah Baliem” tidak disebutkan dalam liriknya. Padahal saya menunggu-nunggu nama tempat itu disebutkan, sampai lagunya selesai ternyata memang tidak disematkan di dalam lirik. Otak saya mulai mencoba menganalisa dengan sok tahu melalui liriknya.
Dari liriknya dapat membuat pendugaan bahwa Lembah Baliem sepertinya nama daerah yang ditinggali suku-suku di pedalaman. Di lirik itu dinyatakan adanya pertambangan. Ya, suku pedalaman dan pertambangan. Mungkin karena sempitnya pengetahuan saya soal wawasan geografis dan demografis Indonesia, dengan mudahnya, pikiran saya langsung menjurus ke Papua. Untuk memvalidasi dugaan tentang dimanakah letak Lembah Baliem, saya pun mencoba membuka Google. Google adalah jawaban segala tanya bagi manusia masa kini. Halaah…
Google pun menjawab bahwa Lembah Baliem merupakan lembah di pegunungan Jayawijaya, berada di ketinggian 1600 mdpl, suhunya mencapai 10o-15oC pada malam hari. Beberapa suku yang tinggal di Lembah Baliem antara lain; Suku Dani, Suku Yani dan Suku Lani. Kata Google tempat ini sangat indah dan menyimpan potensi pertanian. Demikian sedikit informasi mengenai Lembah Baliem, jika masih ingin tahu lebih banyak silakan hubungi Mbah Google. Informasi itu hanya sekadar untuk membuktikan dugaan saya, yang ternyata benar bahwa Lembah Baliem terletak di tanah Papua. Memang, setelah diberitahu Mbah Google, rasa penasaran saya juga semakin meningkat karena pembahasan mengenai Lembah Baliem sangat menarik. Tapi bukan Lembah Baliem secara khusus yang menjadi perenungan utama saya.
Lagu ini menstimulus saya untuk berpikir, membayangkan dan membandingkan kehidupan saudara-saudara kita di pedalaman yang sangat sederhana dengan kehidupan masyarakat kota besar yang berbanding terbalik. Mengapa saya sebut kehidupan mereka yang di pedalaman sederhana? Karena kebutuhan dan keinginan mereka memang sederhana seperti lirik lagu Slank:
….Aku ngga butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan tuk makan
…….. Aku ngga ngerti ada banyak tambang
Yang aku tahu banyak hutan yang hilang
……Asal ada babi untuk dipanggang
Asal banyak ubi untuk kumakan,
Aku cukup senang

Hal penting bagi mereka adalah alam masih menyediakan cukup pangan, papan dan sandang sederhana untuk mereka. Mereka tidak berambisi macam-macam seperti; menguasai, uang, kekayaan, dan sebagainya. Mereka menghargai alam dan tak lelah untuk terus konsisten hidup seperti itu. Sementara di kota, keidupan kita begitu kompleks. Saya juga jadi berpikir tentang apa kebutuhan dasar kita sesungguhnya.
Memang manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, kita sebagai manusia di manapun berada tentu memiliki sifat demikian. Tapi menurut saya, “rasa tidak pernah puas”nya  manusia di kota lebih liar dan itu nyata. Kita, orang kota selalu mengatasnamakan “kebutuhan” secara membabi buta, untuk membenarkan segala cara yang kita tempuh. Hingga batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi bias. Jangan-jangan sebagian atau bahkan mayoritas dari sekian banyaknya hal yang kita klaim sebagai kebutuhan sebenarnya adalah keinginan yang tersamarkan oleh ego. Kita yang tinggal di kota memiliki tujuan ataupun mimpi yang jauh lebih rumit daripada saudara kita di pedalaman sana. Mimpi atau tujuan itulah pemicu dari segala sepak terjang yang kita lakukan, bahkan tak segan mendzalimi alam, sesama manusia, juga diri sendiri. Demi tujuan yang diinginkan kita tidak sadar sedang membudakkan diri pada nafsu.
Dengan melihat kehidupan mereka di pedalaman, lalu membandingkan dengan kehidupan manusia kota, saya tertawa getir memikirkannya. Kitalah yang patut dikasihani nampaknya. Kita selalu mendengungkan semboyan “menuju kehidupan yang lebih baik”, nyatanya membuat kita semakin liar. Lebih baik dan lebih baik, kita terus berusaha membangun peradaban entah sampai kapan. Kata “lebih baik” agaknya memang tak berbatas, dan nampaknya hanya kiamat yang bisa menghentikan sepak terjang kita. Kita banting tulang jungkir balik membangun peradaban  tapi pada akhirnya kita binasa juga dimakan peradaban yang kita bangun sendiri.

Saya bukan mengajak orang-orang kota mengikuti gaya hidup primitive saudara-saudara kita di pedalaman, hanya sekadar merefleksikan hidup, untuk sedikit mengetuk nurani, mengingat dan merenungi apakah tujuan akhir kita hidup di bumi? Sesekali kita perlu menertawakan diri sendiri, bukan?

Monolog: Berlisan, Berekspresi Dan Manusia Satu Frekuensi

Tidak semua orang mampu menyampaikan pendapat atau pesan dengan baik secara lisan, dan tidak semua orang pula mampu menyimak dengan baik. Saya yakin orang-orang yang kesulitan menyampaikan pendapat atau pesan secara lisan akan tetap mengekspresikannya dengan cara lain. Dengan menulis misalnya. Menulis biasanya merupakan jalan pintas dan terapi untuk berekspresi bagi mereka, hmmm……termasuk saya sih.
Mungkin setiap individu punya alasannya masing-masing mengapa kesulitan berlisan, tapi umumnya disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri karena mereka (saya pun) merasa lingkungan sekitar tidak memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Entah karena kami adalah tipikel orang yang diam-diam sensitif, pesimis dan skeptic atau karena penampakan kami yang kurang menarik. Entahlah, yang jelas rasa percaya diri yang ciut membuat kami tidak maksimal ketika berbicara. Mungkin harus belajar dari Bung Karno. Yaakeleus, beliau mah udah berkharisma ~
Tetapi hidup kami tidak akan terlalu menyedihkan jika mempunyai sahabat-sahabat yang satu frekuensi. (((satu frekuensi))) Berkumpul dengan manusia-manusia yang berada dalam frekuensi yang sama pasti sangat membahagiakan bagi kami hahaha :D


Satu frekuensi di sini maksudnya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan. Memang tak ada manusia yang sama persis, tapi tentu ada beberapa orang yang memiliki kesamaan pada hal-hal yang mendasar dengan kita. Misalnya kesamaan nilai-nilai kehidupan dan prinsip. Dengan begitu komunikasi yang berlangsung akan sangat nyambung. Tapi bukan berarti tidak pernah berbeda pendapat, perbedaan tetap ada, hanya saja hal-hal kecil yang bukan prinsipil sampai memicu konflik. Dengan manusia satu frekuensi itulah kami bebas berekspresi karena kami merasa apapun yang kami sampaikan selalu disambut dengan antusias sehingga kami merasa nyaman, lebih dihargai dan bisa membicarakan berbagai hal, dari hal konyol sampai hal serius menyangkut hidup dan mati. *tsaah*



Yaa mereka adalah tandingan sepadan dalam berdebat, bukan karena satu level dalam ilmu dan pengetahuan, tapi setara dalam kedudukan. Saling mendidik tanpa menggurui, saling menegur tanpa merendahkan, saling memberi tanpa mengungkit.



About Me


dian ratna sari. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Sampah Pikiranku...

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger