Memburu Ide

Ia muncul menggangguku, saat aku sedang disuruh ibu menghitung lemper pesanan tetangga. Kurang ajar sekali kan! Tiba-tiba muncul pada hitungan lemper yang keenampuluhan, membuyarkan hitungan, lalu lenyap begitu saja. Aku menghitung ulang dari awal, ibu gemas sekali melihatku, beliau segera mengambil alih, kemudian melakukannya lebih cepat dan tepat heuheuheu…
Yasudah, aku diam, mundur selangkah sambil mengingat ide yang tadi menyentil konsentrasiku. Hmm tugasku di dapur sudah selesai. Aku pergi ke kamar, menyalakan laptop, kuklik icon Microsoft office, kupilih Microsoft Word dan terbukalah lembaran putih yang masih kosong. Aku terdiam lagi, berusaha memanggilnya kembali agar bersarang di kepalaku, aku ingin menulis. Tapi idenya sudah terbang jauh tanpa meninggalkan jejak di udara.
Mataku menjelajahi ruangan, kepalaku berputar sembilan puluh derajat ke kiri, kemudian sembilan puluh derajat ke kanan, berharap ide itu masih terselip di antara benda-benda yang ada di sini. Yaa mungkin dia sedang bersembunyi di kolong tempat tidur, mungkin dia ada di dalam tasku, atau di dalam dompetku, mungkin menyelip di antara buku-buku yang berjajar di rak. Lalu mataku bergerak menyusuri benda-benda yang berserakan di atas meja belajar. Penjelajahan mataku terhenti pada buku Ekonometrika yang tebalnya sekitar 5-7cm. Mungkin saja ideku tertindih buku itu.
Waah kalau benar tertindih buku itu kasihan sekali si ide…..jangankan tertindih, orang yang baru melihat buku itu saja akan langsung stress. Jangan-jangan dia sekarat…
Kuangkat buku itu…
Aaaak aku terlambat!
Ideku mati sudah…
Iya ideku mati dibunuh buku Ekonometrika.
Kumakamkan ia di udara.

Kumatikan laptopku. Perburuan ideku gagal. Tapi sewaktu-waktu ia akan menggentayangiku lagi, pasti.
Oh salah, perburuanku  tidak gagal. Aku berhasil menemukannya, hanya saja dalamkeadaan mati hehehe

November


November, aku tau perlahan kau undur diri, tapi kumohon perlambatlah langkahmu meninggalkanku...
Kulihat Desember sudah di ujung jalan, antusias menggantikanmu, Ia sudah  tak sabar segera menambah bobot beban di pundakku, lalu menombak leherku …
Dinding menyorakiku yang sedang merengek kepadamu…
Ritme detak jarum jam pun terdengar mengerikan mengiringi risauku…

Di luar sana hujan sedang berjaya…
Memang sedang jadwalnya Ia bertugas…
Ia akan sering mengunjungi kota kami…
Aku tau itu dari para laron yang mengabariku ketika berjumpa di bawah lampu di stasiun kemarin petang…
Banyak yang memaki kedatangan hujan, kau taulah kenapa…
Banyak juga yang mengaku suka hujan tapi terlalu gengsi untuk bermain dengannya, sehingga hanya berani membauinya…
Hanya anak-anak kecil yang jujur dan tanpa gengsi bermain dengannya, mereka mengajaknya turut serta bermain sepak bola di lapangan rumput…

Sudahlah November, jangan terburu-buru pergi, mari minum kopi dan nikmati saja hujan ini…

Coba lihat

Lihatlah gedung-gedung pencakar langit yang berdiri angkuh setelah berhasil menyingkirkan perkampungan warga, sawah, perkebunan, hutan bahkan lapangan tempat para bocah bersenang-senang, melenyapkan kearifan lokal dulu kala.
Ketika hujan datang banyak yang menghujat, memaki, dan menudingnya sebagai penyebab banjir dan macetnya jalanan ibukota. Bukankah hujan adalah anugrah dan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bersyukur dan bermunajat? Kita lupa.
Rawa-rawa yang berfungsi sebagai daerah resapan air disulap menjadi kawasan padat penduduk dan ketika hujan datang, banjir pun menyusul. Apakah itu salah Tuhan?
Perbukitan di dataran tinggi ditumbuhi pohon-pohon besar yang akarnya bertugas menyerap air hujan, disulap menjadi vila dan resort mewah. Air hujan yang menyirami bukit merasa tak berguna, kemanakah ia harus mengalir? Sesuai hukum alam tentu; mengalir ke tempat yang lebih rendah. Yaa tentu ke kota. Salah Tuhan juga kah?  Manusia yang maha bodoh memang hanya bisa menyalahkan Tuhan.
Banyak masalah yang besar, pelan-pelan merenggut kehidupan kita namun tak akan terlihat jika kau hanya fokus pada ego. Kita seperti kumpulan katak dalam kuali besar yang direbus. Temperatur air yang naik perlahan membuat kita nyaman, semakin hangat semakin menikmati, lalu mati. Yaa peradaban kita akan musnah pada waktunya.
Dinamika kehidupan tak bisa dihentikan, atau dikembalikan ke tempo dulu, kita akan tetap melaju bersama waktu menuju hancur. Mari nikmati bumi ini sambil menjaganya untuk mengulur waktu tibanya kehancuran peradaban kita. Lihatlah matahari sedang pulang menuju kayangan dengan perlahan nan anggun, menghasilkan jejak warna yang memesona. Lembayung senja di kota ini ternyata indah. Kau jarang mendapatinya kan?

Ketika kau bosan, lelah dan penat dengan masalah duniawimu, pergilah ke tempat yang tinggi di kotamu. Tidak, bukan untuk terjun bebas mengakhiri hidup. Berdiri di tempat tinggi mengingatkanmu cara menikmati hidup. Ahh kota ini masih memiliki celah-celah keindahan yang tak disadari oleh sebagian besar orang yang sibuk dengan kesemrawutan urusan duniawinya. Dari atas sini kau akan merasa begitu kecil bagai setitik debu, pun semua masalahmu. Bersyukurlah, lalu berjanjilah akan menjaga dan merawat bumi kita.

About Me


dian ratna sari. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Sampah Pikiranku...

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger