Apa Tujuan Akhir Kita?

Aku ngga perlu uang ribuan
Yang aku mau uang merah cepean
Aku ngga butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan tuk makan
Asal ada babi untuk dipanggang
Asal banyak ubi untukku makan,
Aku cukup senang
Aku cukup senang
Dan akupun tenang

Aku ngga ngerti ada banyak tambang
Yang aku tahu banyak hutan yang hilang
Aku ngga peduli banyak nada sumbang
Kita orang ini dianggap terbelakang

Asal ada babi untuk dipanggang
Asal banyak ubi untukku makan,
Aku cukup senang
Aku cukup senang
Dan akupun tenang
………………

Sekilas, lirik lagu Lembah Baliem milik Slank ini terdengar sederhana, tapi maknanya? Aah lagu ini membuat saya merenung, berpikir tentang kehidupan. Mungkin Lembah Baliem masih terasa asing bagi sebagian orang, termasuk saya saat pertama kali melihat judul lagu ini. Setelah didengarkan pun kata “Lembah Baliem” tidak disebutkan dalam liriknya. Padahal saya menunggu-nunggu nama tempat itu disebutkan, sampai lagunya selesai ternyata memang tidak disematkan di dalam lirik. Otak saya mulai mencoba menganalisa dengan sok tahu melalui liriknya.
Dari liriknya dapat membuat pendugaan bahwa Lembah Baliem sepertinya nama daerah yang ditinggali suku-suku di pedalaman. Di lirik itu dinyatakan adanya pertambangan. Ya, suku pedalaman dan pertambangan. Mungkin karena sempitnya pengetahuan saya soal wawasan geografis dan demografis Indonesia, dengan mudahnya, pikiran saya langsung menjurus ke Papua. Untuk memvalidasi dugaan tentang dimanakah letak Lembah Baliem, saya pun mencoba membuka Google. Google adalah jawaban segala tanya bagi manusia masa kini. Halaah…
Google pun menjawab bahwa Lembah Baliem merupakan lembah di pegunungan Jayawijaya, berada di ketinggian 1600 mdpl, suhunya mencapai 10o-15oC pada malam hari. Beberapa suku yang tinggal di Lembah Baliem antara lain; Suku Dani, Suku Yani dan Suku Lani. Kata Google tempat ini sangat indah dan menyimpan potensi pertanian. Demikian sedikit informasi mengenai Lembah Baliem, jika masih ingin tahu lebih banyak silakan hubungi Mbah Google. Informasi itu hanya sekadar untuk membuktikan dugaan saya, yang ternyata benar bahwa Lembah Baliem terletak di tanah Papua. Memang, setelah diberitahu Mbah Google, rasa penasaran saya juga semakin meningkat karena pembahasan mengenai Lembah Baliem sangat menarik. Tapi bukan Lembah Baliem secara khusus yang menjadi perenungan utama saya.
Lagu ini menstimulus saya untuk berpikir, membayangkan dan membandingkan kehidupan saudara-saudara kita di pedalaman yang sangat sederhana dengan kehidupan masyarakat kota besar yang berbanding terbalik. Mengapa saya sebut kehidupan mereka yang di pedalaman sederhana? Karena kebutuhan dan keinginan mereka memang sederhana seperti lirik lagu Slank:
….Aku ngga butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan tuk makan
…….. Aku ngga ngerti ada banyak tambang
Yang aku tahu banyak hutan yang hilang
……Asal ada babi untuk dipanggang
Asal banyak ubi untuk kumakan,
Aku cukup senang

Hal penting bagi mereka adalah alam masih menyediakan cukup pangan, papan dan sandang sederhana untuk mereka. Mereka tidak berambisi macam-macam seperti; menguasai, uang, kekayaan, dan sebagainya. Mereka menghargai alam dan tak lelah untuk terus konsisten hidup seperti itu. Sementara di kota, keidupan kita begitu kompleks. Saya juga jadi berpikir tentang apa kebutuhan dasar kita sesungguhnya.
Memang manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, kita sebagai manusia di manapun berada tentu memiliki sifat demikian. Tapi menurut saya, “rasa tidak pernah puas”nya  manusia di kota lebih liar dan itu nyata. Kita, orang kota selalu mengatasnamakan “kebutuhan” secara membabi buta, untuk membenarkan segala cara yang kita tempuh. Hingga batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi bias. Jangan-jangan sebagian atau bahkan mayoritas dari sekian banyaknya hal yang kita klaim sebagai kebutuhan sebenarnya adalah keinginan yang tersamarkan oleh ego. Kita yang tinggal di kota memiliki tujuan ataupun mimpi yang jauh lebih rumit daripada saudara kita di pedalaman sana. Mimpi atau tujuan itulah pemicu dari segala sepak terjang yang kita lakukan, bahkan tak segan mendzalimi alam, sesama manusia, juga diri sendiri. Demi tujuan yang diinginkan kita tidak sadar sedang membudakkan diri pada nafsu.
Dengan melihat kehidupan mereka di pedalaman, lalu membandingkan dengan kehidupan manusia kota, saya tertawa getir memikirkannya. Kitalah yang patut dikasihani nampaknya. Kita selalu mendengungkan semboyan “menuju kehidupan yang lebih baik”, nyatanya membuat kita semakin liar. Lebih baik dan lebih baik, kita terus berusaha membangun peradaban entah sampai kapan. Kata “lebih baik” agaknya memang tak berbatas, dan nampaknya hanya kiamat yang bisa menghentikan sepak terjang kita. Kita banting tulang jungkir balik membangun peradaban  tapi pada akhirnya kita binasa juga dimakan peradaban yang kita bangun sendiri.

Saya bukan mengajak orang-orang kota mengikuti gaya hidup primitive saudara-saudara kita di pedalaman, hanya sekadar merefleksikan hidup, untuk sedikit mengetuk nurani, mengingat dan merenungi apakah tujuan akhir kita hidup di bumi? Sesekali kita perlu menertawakan diri sendiri, bukan?

Monolog: Berlisan, Berekspresi Dan Manusia Satu Frekuensi

Tidak semua orang mampu menyampaikan pendapat atau pesan dengan baik secara lisan, dan tidak semua orang pula mampu menyimak dengan baik. Saya yakin orang-orang yang kesulitan menyampaikan pendapat atau pesan secara lisan akan tetap mengekspresikannya dengan cara lain. Dengan menulis misalnya. Menulis biasanya merupakan jalan pintas dan terapi untuk berekspresi bagi mereka, hmmm……termasuk saya sih.
Mungkin setiap individu punya alasannya masing-masing mengapa kesulitan berlisan, tapi umumnya disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri karena mereka (saya pun) merasa lingkungan sekitar tidak memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Entah karena kami adalah tipikel orang yang diam-diam sensitif, pesimis dan skeptic atau karena penampakan kami yang kurang menarik. Entahlah, yang jelas rasa percaya diri yang ciut membuat kami tidak maksimal ketika berbicara. Mungkin harus belajar dari Bung Karno. Yaakeleus, beliau mah udah berkharisma ~
Tetapi hidup kami tidak akan terlalu menyedihkan jika mempunyai sahabat-sahabat yang satu frekuensi. (((satu frekuensi))) Berkumpul dengan manusia-manusia yang berada dalam frekuensi yang sama pasti sangat membahagiakan bagi kami hahaha :D


Satu frekuensi di sini maksudnya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan. Memang tak ada manusia yang sama persis, tapi tentu ada beberapa orang yang memiliki kesamaan pada hal-hal yang mendasar dengan kita. Misalnya kesamaan nilai-nilai kehidupan dan prinsip. Dengan begitu komunikasi yang berlangsung akan sangat nyambung. Tapi bukan berarti tidak pernah berbeda pendapat, perbedaan tetap ada, hanya saja hal-hal kecil yang bukan prinsipil sampai memicu konflik. Dengan manusia satu frekuensi itulah kami bebas berekspresi karena kami merasa apapun yang kami sampaikan selalu disambut dengan antusias sehingga kami merasa nyaman, lebih dihargai dan bisa membicarakan berbagai hal, dari hal konyol sampai hal serius menyangkut hidup dan mati. *tsaah*



Yaa mereka adalah tandingan sepadan dalam berdebat, bukan karena satu level dalam ilmu dan pengetahuan, tapi setara dalam kedudukan. Saling mendidik tanpa menggurui, saling menegur tanpa merendahkan, saling memberi tanpa mengungkit.



About Me


dian ratna sari. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Sampah Pikiranku...

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger