Berlibur ke Surga




Jangan tanyakan ke mana aku menghabiskan masa liburan...

Kalian boleh menertawakan, mengejek atau mengasihaniku...

Rebahan di atas tempat tidur...

Berkalang buku-buku...

Menjadi santapan kutu busuk...

Aku tak perlu pergi ke tempat-tempat indah ala My Trip My Adventure...

Untuk apa?


Aku sudah berada di surga, menjadi murid Tan Malaka, Jostein Gaarder, Soe Hok Gie dan lainnya...

Posted by
Unknown

More

Risihnya Menyandang Gelar Akademis

Sidang skripsi (bagi strata satu) adalah momentum yang paling ditunggu sekaligus paling mendebarkan bagi para mahasiswa tingkat akhir. Di situlah, lulus atau tidaknya seorang mahasiswa diputuskan. Bila lulus, gelar akademis sesuai bidang keilmuan yang ditempuh, berhak disematkan di belakang namanya. Perasaan lega, gembira, bangga dan haru biru melebur menjadi satu ketika sang mahasiswa dinyatakan lulus. Tapi percayalah, euforia itu hanya berlangsung sesaat. Reaksi senyawa perasaan lega, gembira, bangga dan haru biru yang saya alami sewaktu dinyatakan “LULUS” hanya berlangsung sangat singkat. Ya, singkat sekali. Tidak lebih dari sepuluh menit. Durasi pada tiap orang memang bervariasi.
Begitu keluar ruangan sidang, euforia itu padam dan terasa datar-datar saja. Namun, saya berusaha menyunggingkan senyum kemenangan di hadapan teman-teman dan menikmati hujan ucapan selamat dari mereka. Sesampainya di terminal saya dijemput pacar, setibanya di rumah, keluarga menyambut saya dengan tangis haru. Duuh Gusti….alih-alih berterimakasih dan larut dalam suasana itu, saya malah merasa amat canggung. Di dalam hati, saya berharap mereka menyudahi drama ini dan kembali bersikap biasa saja. Meski sikap saya demikian, bukan berarti saya tidak bersyukur sih. Bersyukur sudah pasti tapi saya kira tak perlu diekspresikan berlebihan begini ehehe…


Bicara soal gelar akademis, bagi sebagian orang, hal itu merupakan sebuah kebanggan tersendiri, sedangkan bagi sebagian yang lain, justru merupakan sebuah beban. Saya termasuk ke dalam kelompok yang merasa terbebani dengan gelar akademis. Setelah merampungkan pendidikan di program studi Agribisnis, maka gelar yang saya peroleh adalah Sarjana Pertanian atau disingkat menjadi SP (berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.154 tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi, lulusan program studi agribisnis semestinya kini bergelar S.Agr). Mengemban gelar tersebut artinya harus siap dianggap sebagai orang yang ahli dalam pertanian oleh masyarakat di luar sana.
Saya jadi teringat, sewaktu mewawancarai seorang petani di salah satu desa di Bogor. Saya bersama kawan-kawan memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Agribisnis. Sayangnya nama ‘Agribisnis’ tidak terdengar familiar di telinga si bapak itu. Hal ini kerap terjadi, untuk kesekian kalinya seseorang mengernyitkan dahi dan berpikir sejenak setelah mendengar kata ‘Agribisnis’.

“Pertanian, pak. Tapi lebih ke sosial ekonominya +)#%$^$$$$@#$%)(*&%^# Kira-kita begitu”, jelas salah satu dari kami.

“oh, pertaniaan…”, kata si pak petani.


Ketika itu, informasi yang sedang kami gali adalah berkenaan tentang jual-beli lahan pertanian di desa itu. Wawancara berjalan santai seperti sedang ngobrol biasa, bahkan sesekali keluar topik hingga kami harus menarik beliau kembali ke topik utama. Pembicaraan yang keluar jalur ini selain membuang waktu, juga membuat kami garuk-garuk kepala.

“Dek, bapak ada kebon pepaya di belakang. Udah beberapa bulan ini kena kutu putih (paracoccus marginatus) daunnya. Obatnya yang manjur apa ya? Udah pernah diobatin tapi ga mempan-mempan”, keluh si bapak petani.

Kami sadar, kami telah gagal dalam menjelaskan tentang program studi kami, tentang fokus studi kami. Yeaah walau kami ‘anak pertanian’ namun kami tidak terlalu fasih soal nama-nama pestisida. Tapi yah memang begitulah, masyarakat tidak peduli bahwa di agribisnis, kami bukan disiapkan menjadi dokter tanaman yang mahir menciptakan varietas unggul, dan paham segala jenis penyakit tanaman serta obatnya. Kami memang belajar menanam, merawat tanaman, mengenal serta mengendalikan hama dan gulma, tetapi tidak semendalam mahasiswa Agroteknologi.





Inilah sebabnya saya merasa malu menyematkan gelar akademis di belakang nama. Kegelisahan menyandang gelar tersebut langsung menyergap sekeluarnya saya dari ruangan sidang, sehingga memadamkan kobaran sukacita kelulusan.

Posted by
Unknown

More

Tentang Pejalan Kaki

Kasta terendah pengguna jalan di kota-kota besar negeri ini nampaknya memang kaum pejalan kaki. Eksistensi kelompok ini di jalanan kurang dihargai oleh pemerintah setempat dan para pengguna jalan lainnya, seperti pengendara mobil dan pengendara motor. Rasanya tak berlebihan bila mengatakan pejalan kaki adalah kelompok yang paling teraniaya. Beragam penderitaan harus diterima oleh mereka yang memilih berjalan kaki dalam aktivitasnya sehari-hari. Mulai dari buruknya fasilitas hingga perlakuan arogan dari kelompok pengendara mobil dan motor.
Banyak trotoar yang tidak layak dan tak pula kunjung diperbaiki. Bahkan di beberapa tempat, trotoarnya terpaksa dilenyapkan demi pelebaran jalan guna mengurangi tingkat kemacetan. Tindakan ini sekaligus memperbesar peluang pejalan kaki tertabrak kendaraan bermotor dan tercebur ke dalam got. Dalam masalah ini, sulit untuk tidak menuding pemerintah pilih kasih. Selain itu, hak pejalan kaki kerap dirampas oleh para pengendara mobil dan motor yang rakus; diklaksoni dan diteriaki ketika sedang melintasi zebra cross dan juga saat berjalan di atas trotoar, padahal kedua fasilitas itu sudah jelas diperuntukan bagi pejalan kaki.

Di musim hujan, penderitaan pejalan kaki bertambah. Ketika sedang berjalan di pinggiran jalan atau trotoar, tiba-tiba melintas di sampingnya pengendara mobil atau motor dan menghasilkan percikan air genangan dengan volume dan tinggi yang bervariasi tergantung kecepatan kendaraan yang melintas dan volume air genangan di sekitar. Jika kendaraan berkecepatan tinggi dan volume genangan air di jalan itu besar, maka percikan air yang dihasilkan akan tinggi dan terasa seperti siraman. Bagaimanapun besar atau kecilnya percikan air tetap saja menjengkelkan. Spontan umpatan kasar atau bahkan kalimat kutukan terlontar dari mulut para pejalan kaki yang menjadi korbannya. Sebenarnya, ketinggian percikan air genangan itu dapat kendalikan. Sebagai pengemudi, saat mendapati kondisi jalanan yang becek ataupun terdapat genangan dan ada pejalan kaki di pinggirnya, semestinya ia menurunkan kecepatan kendaraannya, sehingga resiko memerciki para pejalan kaki dapat meminimalisir. Sayangnya pengendara mobil dan motor yang demikian langka adanya, kebanyakan mereka egois, enggan berpikir dan nihil empati.

Posted by
Unknown

More

Empati Untuk Mereka Yang Mendadak Menjerit dan Lompat

sama kecoa aja takut, kecoa sama elu juga gedean elu!”
 “lebay banget sih sama kucing aja takut hahaha jejelin nih” 

Umpatan di atas atau sejenisnya tentu sudah sangat familiar dalam keseharian kita di masyarakat. Sebagian dari kita mungkin kerap melontarkan kalimat-kalimat seperti itu kepada orang di sekitar saat ia dengan spontan melompat, kabur atau berteriak histeris seperti orang kerasukan dan berbagai tingkah aneh lainnya, ketika tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran objek-objek yang memicu rasa benci, jijik atau fobia. Bagi kita yang tidak memiliki kebencian, jijik dan fobia pada hal apapun seumur hidupnya mungkin akan dengan mudah melemparkan umpatan demikian. Memang, diperlukan empati untuk dapat memahami dan membuat kita berhenti menyepelekan atau bahkan berhenti memarahi orang-orang yang memiliki kebencian, jijik dan fobia dengan hal-hal tertentu.

Setiap orang pasti ingin hidup tanpa kebencian, jijik dan fobia pada hal apapun. Idealnya mungkin begitu, namun realita tak selalu selurus dan semulus yang diharapkan. Beragam permasalahan dari yang ringan sampai yang berat selalu datang menghampiri sehingga, kadang memaksa kita untuk mempunyai musuh. Musuh bagi setiap orang berbeda-beda. Sikap setiap orang dalam menghadapi masalah juga berbeda karena kondisi mentalnya yang juga berbeda-beda.

Saya yakin, sesungguhnya mereka yang mempunyai kebencian, jijik dan fobia, juga berharap suatu hari ketakutannya terhadap obyek-obyek tertentu itu dapat sirna dan bisa hidup dengan tenang. Hanya saja, saat ini mereka belum mampu berdamai dengan diri sendiri dan belajar berdamai dengan obyek-obyek itu. Mungkin reaksi mereka ketika sedang berhadapan dengan obyek yang ia takukan terlihat berlebihan dan terkadang menganggu. Perlu diketahui juga bahwa, mereka pun sama sekali tidak berniat menganggu, merusak suasana ataupun bersikap menyebalkan. Semua reaksi hebohnya itu sudah menjadi refleks yang sulit dikendalikan.

Jadi, mengucapkan “sama kecoa aja takut, kecoa sama elu juga gedean elu!” kepada teman kita yang mendadak kabur saat kecoa mendarat di hadapannya, agaknya kurang bijak dan tidak relevan. Jelas kurang bijak, karena kita tidak tahu apa yang telah terjadi dengan orang itu di masa lampaunya. Kita tidak tahu karakter, kondisi mental dan berbagai aspek kepribadian orang itu, tapi kita, dengan ringannya mengumpati penderitaannya. Kalimat umpatan itu juga tidak relevan, karena perkaranya bukanlah ukuran; bukan siapa yang lebih besar secara fisik. Tidak sesederhana itu.

Yaah, kalaupun tidak bisa membantu menyembuhkan rasa benci, jijik dan fobia mereka setidaknya cobalah kita belajar memahami. Diawali dengan menumbuhkan empati, sebab kita tak akan mampu memahami jika tidak ada empati.




Posted by
Unknown

More

Buang Sampah Sembarangan dan Menikah Muda

Ketika berada di jalanan dan kendaraan umum, saya termasuk orang yang lebih suka mengamati beberapa obyek di sekeliling ketimbang tertunduk khusyuk kepada smartphone. Saya pikir, terlalu fokus pada gadget akan mengurangi tingkat kewaspadaan dan kepekaan sosial kita. Saya akan sangat amat malas mengambil smartphone jika sudah tenggelam jauh di dasar tas, sebab untuk meraihnya saja sangat sulit dan diperlukan waktu bermenit-menit sehingga saya sering menyerah. Walau kadang hal seperti ini tidak baik, yang konsekuensinya kena ‘semprot’ orang-orang terdekat akibat kelambanan saya merespon panggilan ataupun pesan singkat mereka (oke ini terlalu curhat -_-).
Perjalanan saya dari rumah ke kampus memakan waktu selama dua jam, bahkan lebih. Melelahkan pasti, namun tidak selalu membosankan, karena jalanan menyajikan banyak kisah kehidupan yang menarik. Namun, Anda tidak akan mendapatinya, bila selama dalam perjalanan hanya melulu terpaku pada gadget di genggaman tangan dan tidak memperhatikan sekitar.
Selain bus dan commuterline, moda transportasi yang selalu saya gunakan adalah angkot. Seperti angkutan umum lainnya, di dalamnya kita akan berbagi bangku dengan beragam penumpang. Kebetulan di hari itu yang tepat duduk di hadapan saya adalah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri muda dan seorang balita laki-laki lucu yang sedang minum minuman teh kemasan gelas. Beberapa tahun belakangan ini sejauh pengamatan saya sepertinya pernikahan oleh pasangan muda sedang menjadi tren. Apakah fenomena tersebut merupakan implikasi dari dakwah para ustad yang gencar mengajak kaum muda muslim/muslimah untuk menyergerakan pernikahan dalam rangka menghindarkan diri dari zina? Entah…
Mereka terlihat bahagia, begitu manis dipandang dan membuat iri hingga sempat terbesit keinginan sesaat untuk menikah muda. Iya itu hanya sesaat kok, karena saya segera kembali sadar. Hal yang membuat saya sadar sekaligus memudarkan kekaguman saya terhadap keluarga kecil ini adalah, pada saat si anak sudah menghabiskan minuman teh kemasan gelas itu dan menyerahkan gelas kosong itu kepada ayahnya yang kemudian oleh ayahnya melempar gelas kosong itu keluar melalui jendela ketika angkot kami melaju.
Saya kecewa dengan pasangan muda ini. Tindakan sang ayah amat tidak patut dicontoh sebagai orang tua; membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sebarangan mungkin terkesan hal sepele bagi sebagian orang, tapi bagi saya ini persoalan serius. Bila tindakan  ini dimaklumi sekali dua kali, saya yakin ke depannya akan menjadi kebiasaan bahkan menjadi refleks setiap melakukannya. Rasanya, saya tidak perlu lagi menjelaskan dampak membuang sampah sembarangan, di bangku SD kita tentu sudah diajarkan.
Yaah, kita sudah diajarkan di bangku SD tapi kenapa pelajaran itu terlupakan dan nihil pada praktek sehari-hari? Pendidikan untuk tidak membuang sampah sembarang di bangku sekolah menjadi tidak efektif menggugah kesadaran seseorang, menurut saya karena seseorang itu tidak mendapatkan panutan yang baik dalam membuang sampah di keluarganya. Mengapa keluarga? Karena di dalam keluarga ada orang dewasa (orang tua) yang bertugas sebagai pendidik bagi anak. Orang tua adalah agen pertama dalam pendidikan dan penanaman nilai-nilai kehidupan bagi anaknya.
Jadi, bagi Anda pemuda-pemudi yang sedang dilanda hasrat ingin menikah yang menggebu-gebu, coba introspkesi diri, apakah Anda punya kebiasaan membuang sampah sebarangan? Jika ya, baiknya urungkan dulu niat mulia Anda. Slogan “segerakan menikah” yang didengungkan para ustad jangan ditelan bulat-bulat begitu saja, pernikahan bukan sekedar penghalalan syahwat, tidak sedangkal dan serendah itu. Mari pantaskan diri sebagai calon istri/suami dan orang tua, bekali diri dengan ilmu, iman, taqwa dan materi demi mewujudkan generasi gemilang harapan bangsa dan agama :D

Btw…

Terima kasih jalanan, sudah menyediakan obyek-obyek menarik sebagai bahan kontemplasi :’)

Posted by
Unknown

More

About Me


dian ratna sari. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Sampah Pikiranku...

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger