Ketika
berada di jalanan dan kendaraan umum, saya termasuk orang yang lebih suka
mengamati beberapa obyek di sekeliling ketimbang tertunduk khusyuk kepada
smartphone. Saya pikir, terlalu fokus pada gadget akan mengurangi tingkat
kewaspadaan dan kepekaan sosial kita. Saya akan sangat amat malas mengambil
smartphone jika sudah tenggelam jauh di dasar tas, sebab untuk meraihnya saja sangat
sulit dan diperlukan waktu bermenit-menit sehingga saya sering menyerah. Walau
kadang hal seperti ini tidak baik, yang konsekuensinya kena ‘semprot’
orang-orang terdekat akibat kelambanan saya merespon panggilan ataupun pesan
singkat mereka (oke ini terlalu curhat -_-).
Perjalanan
saya dari rumah ke kampus memakan waktu selama dua jam, bahkan lebih. Melelahkan
pasti, namun tidak selalu membosankan, karena jalanan menyajikan banyak kisah kehidupan
yang menarik. Namun, Anda tidak akan mendapatinya, bila selama dalam perjalanan
hanya melulu terpaku pada gadget di genggaman tangan dan tidak memperhatikan
sekitar.
Selain
bus dan commuterline, moda transportasi yang selalu saya gunakan adalah angkot.
Seperti angkutan umum lainnya, di dalamnya kita akan berbagi bangku dengan beragam
penumpang. Kebetulan di hari itu yang tepat duduk di hadapan saya adalah sebuah
keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri muda dan seorang balita laki-laki
lucu yang sedang minum minuman teh kemasan gelas. Beberapa tahun belakangan ini
sejauh pengamatan saya sepertinya pernikahan oleh pasangan muda sedang menjadi tren.
Apakah fenomena tersebut merupakan implikasi dari dakwah para ustad yang gencar
mengajak kaum muda muslim/muslimah untuk menyergerakan pernikahan dalam rangka menghindarkan
diri dari zina? Entah…
Mereka
terlihat bahagia, begitu manis dipandang dan membuat iri hingga sempat terbesit
keinginan sesaat untuk menikah muda. Iya itu hanya sesaat kok, karena saya segera
kembali sadar. Hal yang membuat saya sadar sekaligus memudarkan kekaguman saya
terhadap keluarga kecil ini adalah, pada saat si anak sudah menghabiskan minuman
teh kemasan gelas itu dan menyerahkan gelas kosong itu kepada ayahnya yang
kemudian oleh ayahnya melempar gelas kosong itu keluar melalui jendela ketika
angkot kami melaju.
Saya
kecewa dengan pasangan muda ini. Tindakan sang ayah amat tidak patut dicontoh
sebagai orang tua; membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sebarangan mungkin
terkesan hal sepele bagi sebagian orang, tapi bagi saya ini persoalan serius. Bila
tindakan ini dimaklumi sekali dua kali,
saya yakin ke depannya akan menjadi kebiasaan bahkan menjadi refleks setiap
melakukannya. Rasanya, saya tidak perlu lagi menjelaskan dampak membuang sampah
sembarangan, di bangku SD kita tentu sudah diajarkan.
Yaah,
kita sudah diajarkan di bangku SD tapi kenapa pelajaran itu terlupakan dan nihil
pada praktek sehari-hari? Pendidikan untuk tidak membuang sampah sembarang di
bangku sekolah menjadi tidak efektif menggugah kesadaran seseorang, menurut
saya karena seseorang itu tidak mendapatkan panutan yang baik dalam membuang
sampah di keluarganya. Mengapa keluarga? Karena di dalam keluarga ada orang
dewasa (orang tua) yang bertugas sebagai pendidik bagi anak. Orang tua adalah agen
pertama dalam pendidikan dan penanaman nilai-nilai kehidupan bagi anaknya.
Jadi,
bagi Anda pemuda-pemudi yang sedang dilanda hasrat ingin menikah yang
menggebu-gebu, coba introspkesi diri, apakah Anda punya kebiasaan membuang
sampah sebarangan? Jika ya, baiknya urungkan dulu niat mulia Anda. Slogan “segerakan
menikah” yang didengungkan para ustad jangan ditelan bulat-bulat begitu saja,
pernikahan bukan sekedar penghalalan syahwat, tidak sedangkal dan serendah itu.
Mari pantaskan diri sebagai calon istri/suami dan orang tua, bekali diri dengan
ilmu, iman, taqwa dan materi demi mewujudkan generasi gemilang harapan bangsa
dan agama :D
Btw…
Terima kasih
jalanan, sudah menyediakan obyek-obyek menarik sebagai bahan kontemplasi :’)
0 komentar:
Posting Komentar